Rabu, 01 Juni 2011

Fidusia

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor  yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.  Tetapi untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan  di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?
Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).   Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna.  Untuk akta yang dilakukan  di bawah tangan biasanya harus  diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan.
Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta  tersebut. Dalam prakteknya,  di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.
Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang. Saat ini, banyak lembaga  pembiayaan (finance) dan bank (bank umum  maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.
Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang  bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit)  secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi  sebagai penerima fidusia. 
Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang  mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia  dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong  desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada.
Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  dan dapat digugat ganti kerugian. Dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
  1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. 
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi  melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. 
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat  terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. 
Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai  Pasal  372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.
Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah  terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. 
Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh  pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.
Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.   Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. 
Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

Senin, 30 Mei 2011

MIRANDA RULE

Pengakuan tertulis yang dibuat tersebut diajukan dalam persidangan sebagai bukti dan berdasarkan bukti tersebut Ernesto Miranda divonis penjara selama 20 tahun. Atas vonis tersebut Miranda dan kuasa hukum nya mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Akhirnya Mahkamah Agung menyatakan bahwa pengakuan yang dibuat Miranda sebagai bukti itu tidak sah karena sebelum dibuatnya pengakuan tersebut ternyata tidak diberikan hak-haknya sebagai Tersangka. Tetapi keputusan Mahkamah Agung tersebut tidak membebaskan Miranda, hanya menangguhkan hukumannya saja,kejadian ini berlangsung pada tahun 1966. Jaksa Penuntut akhirnya mencari pengakuan lainnya yang dapat memberatkan Ernesto Miranda dimana pengakuan lainnya didapat dari mantan kekasih / pacar Miranda, atas pengakuan sang mantan kekasih tersebut akhirnya Ernesto Miranda dihukum penjara 11 tahun dan bebas bersyarat pada tahun 1972.


Miranda Rule begitu yang populer dikalangan praktisi hukum, dimana arti dari Miranda Rule adalah Suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana/kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang.


Sejarah Miranda Rule bermula dari tahun 1963 di Arizona, Negara bagian Amerika Serikat, seorang pemuda bernama Ernesto Miranda ditangkap oleh Kepolisian setempat karena diduga melakukan tindakan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 tahun. Setelah ditangkap Ernesto Miranda kemudian dibawa ke ruang interograsi. Setelah 2 jam didalam ruang interogasi, ia akhirnya menandatangani suatu pengakuan tertulis bahwa ia telah menculik an memerkosa perempuan yang dimaksud. Namun ternyata sebelum itu dirinya tidak diberikan hak untuk diam dan hak untuk medapatkan pengacara guna mendampinginya dalam pemeriksaan tersebut.

Sejak adanya pernyataan dari Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1966 yang menyatakan bahwa pengakuan Miranda tidak sah, maka sejak saat itu hak-hak Tersangka mulai diperhatikan secara Khusus dan peristiwa tersebut dikenal sebagai Miranda Rule.

Miranda Rule berisikan hak-hak seseorang sebelum diperiksa oleh penyidik yang terdiri dari :
  • Hak untuk diam (karena segala sesuatu yang dikatakan seorang tersangka dapat digunakan untuk melawannya/memberatkannya di pengadilan);
  • Hak untuk mendapatkan/menghubungi penasihat hukum/advokat.
  • Hak bila tidak mampu untuk disediakan penasehat hukum/advokat oleh penyidik/aparat hukum.

Dari Miranda Rule ini muncul Miranda Rights sebagai akibat Miranda Rule di adaptasi kedalam perudang-undangan di banyak negara. Miranda Rights yang diakui di seluruh dunia adalah sebagai berikut : 
  1.  Hak untuk diam dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi sebelum diperiksa oleh penyidik.
  2. Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat yang bersangkutan.
  3. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (advokat).
  4. Hak untuk disediakan penasihat hukum jika tersangka tidak mampu menyediakan penasihat hukum/advokat sendiri.

Selain tentang Miranda Rule dan Miranda Rights ada pula mengenai Miranda Warning yang merupakan peringatan yang harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka. Seperti halnya di Negara Amerika Serikat hal ini dikenal dengan The Four Miranda Warning, yaitu :

“You have the right to remain silent. Anything you say can will be used against you in a court of law. You have the right to be speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at goverment expense.”

“Anda mempunyai hak untuk diam. Segala sesuatu yang kamu katakan dapat digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu berhak berkonsultasi dengan lawyer, dan mendapatkan pendampingan pada saat pemeriksaanmu. Jika kamu tidak punya Lawyer, akan disediakan oleh Negara.”

Polisi tidak bisa menanyai seorang tersangka di tempat kejadian , jika dilakukan maka hal tersebut tidak sah dan tidak dapat dijadikan bukti di pengadilan kecuali Polisi menanya Identitas masih dapat dilakukan. Penangkapan dinyatakan ilegal jika Polisi/penyidik mengabaikan membacakan hak-hak Tersangka.