Rabu, 03 September 2014

Citizen Lawsuit


Oleh : Imam musta’in,s.h


Citizen Lawsuit atau Gugatan Warga Negara terhadap penyelenggara Negara sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Citizen lawsuit sendiri lahir di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, dan dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan lingkungan. Namun pada perkembangannya, Citizen Lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang dimana negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Beberapa Kasus Citizen Lawsuit yang cukup dikenal adalah sebagai berikut:
1.     Di Amerika Serikat
Gugatan seorang Warga Negara Amerika atas kelalaian Pemerintah dalam melakukan pelestarian terhadap Spesies kelelawar langka di Amerika. Gugatan tersebut dikabulkan dan hasilnya adalah pemerintah Amerika mengeluarkan Act tentang Konservasi kelelawar langka tersebut. 
2.     Di India
Gugatan seorang Warga Negara India atas kelalaian Pemerintah India dalam melestarikan sungai gangga yang merupakan sungai suci bagi umat hindu. Hasilnya adalah Larangan pemerintah India kepada pabrik-pabrik di sekitar sungai Gangga melakukan pencemaran terhadap sungai.   
GAGASAN POKOK CITIZEN LAWSUIT
Citizen Lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. 
Karakteristik dari Gugatan Citizen Lawsuit
Berdasarkan gagasan pokok tersebut, maka dapat dijabarkan karakteristik dari Gugatan Citizen Lawsuit berdasarkan beberapa perkara CLS yang pernah diajukan di Indonesia, adalah sebagai berikut: 
1.     Tergugat dalam CLS adalah Penyelenggara Negara, Mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam hal ini pihak selain penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun turut tergugat, karena inilah bedanya antara CLS dengan gugatan warga negara.
Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai Tergugat/Turut Tergugat maka Gugatan tersebut menjadi bukan Citizen Lawsuit lagi, karena ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak bisa diperiksa dengan mekanisme Citizen Lawsuit
2.     Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa. 
3.     Penggugat adalah Warga Negara, yang bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action, Penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiel apa yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa.
Selain itu Penggugat secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action. 
4.     Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action. Dalam prakteknya di Indonesia yg didasarkan pada pengaturan di beberapa negara common law, Citizen Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi berupa somasi kepada penyelenggara Negara.
Isi somasi adalah bahwa akan diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak Warga Negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan jika tidak ingin gugatan diajukan. Pada prakteknya somasi ini harus diajukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat. 
5.     Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel, karena kelompok warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara materiel dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action. 
6.     Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi. 
7.     Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN. 
8.     Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu Undang-undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana kini telah diatur dalam PERMA tentang Judicial Review peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 
Beberapa kasus gugatan Citizen Law Suit yg pernah didaftarkan di Indonesia:
  1. Gugatan CLS atas nama Munir Cs atas Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yg dideportasi di Nunukan. àDikabulkan Majelis Hakim Jakarta Pusat dengan Ketua Majelis Andi Samsan Nganro. Hasilnya adalah UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Ini merupakan Gugatan CLS pertama yang muncul di Indonesia.
  2. Gugatan CLS atas kenaikan BBM oleh LBH APIK à Ditolak, bentuk CLS tidak diterima Majelis Hakim PN Jakpus.
  3. Gugatan CLS atas Operasi Yustisi oleh LBH Jakarta à Ditolak, bentuk CLS tidak diterima Majelis Hakim PN Jakarta Pusat.
  4. Gugatan CLS atas penyelenggaraan Ujian Nasional oleh LBH Jakarta à Dikabulkan untuk sebagian, Pemerintah diminta meninjau ulang kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah saat ini mengajukan banding.
Dari beberapa perkara di atas dapat dilihat bahwa di antara Hakim masih belum ada kesesuaian pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen Lawsuit. Beberapa Hakim yang cukup moderate sudah dapat menerima kehadiran bentuk gugatan Citizen Lawsuit ini, namun beberapa Hakim masih tidak menerima bentuk CLS ini karena hingga saat ini memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, lain halnya dengan Bentuk Gugatan Class Action yang telah di akomodir dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). 
Namun tidak dipungkiri bahwa dua kasus Citizen Lawsuit yang diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pusat merupakan suatu pertanda bahwa Gugatan Citizen Lawsuit saat ini telah hadir dan mewarnai sistem peradilan Indonesia.  
(Dari Berbagai Sumber)


SUPREMASI HUKUM & PENEGAKAN HUKUM

OLEH : IMAM MUSTA'IN, S.H



I. PENDAHULUAN 
Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.

Jhon Locke dalam karyanya “Second Tratise of Government”, telah mengisyaratkan tiga unsur minimal bagi suatu Negara hukum, sebagai berikut :

1. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai;
2. Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pemerintahan;
3. Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat. 

Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat/rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum.

Bagaimana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3)UUD NRI Tahun 1945, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum. 

Namun bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide Negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral(Jimly Asshiddiqie, 2009:3). 

Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai sarana (tool) penggerak aktifitas kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan.

Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada rana empiris tanpa paksaan.

Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan hukum,dan penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai evaluatif jika disertai dengan pemberlakuan hukum yang responsif.Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan. 

II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 

A. Terminologi dan Deskripsi tentang Supremasi Hukum 

Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”. 

Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi. 

Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati. 

Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara. 

Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima(2003:1). 

Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur(fair play).

Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan idée tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima. 

B. Deskripsi Penegakan Hukum 

Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku criminal.

Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum.

Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum,misalnya tindakan informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum. 

Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat. Namun demikian, dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan sosial maka pemerintalah actor security. 

Pada perspektif akademik,Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977).

Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13). 

Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).

Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati. 

Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit.Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi.

Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di rana empiris.

C. Supremasi Hukum dan Penegakan Hukum 

Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan panjang.

Banyak contoh kasus di negeri ini yang menarik dijadikan sampel berkenaan dengan supremasi hukum dan penegakan hukum, antara lain bagaimana ketiadaan penghormatan supremasi hukum terhadap skandal Senturi. Bagaimana skandal mafia pajak yang salah satu aktornya “Gayus” dengan menampilkan pentas sandiwara hukum, yang oleh publik ditontonnya sebagai proses penegakan hukum yang setengah hati. Belum lagi menguaknya kasus Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) yang diduga keras penuh rekayasa. 

Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 

Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Eropa Barat. Secara embrio doktrin supremasi hukum sudah mulai berkembang sejak abad VII M. 

Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi hukum telah dikenal sejak abad XI M, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI M, Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan supremasi hukum yang mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan kesejahtraan yang mengantarkan manusia secara individu dan masyarakat sukses dan bahagia menjalani kehidupan dan selamat bahagia hidup di akhirat kelak (Abdul Manan,2009:190).

Penegakan supremasi hukum dalam suatu Negara dapat berjalan dengan beberapa prinsip antara lain :

1. Prinsip Negara Hukum 
2. Prinsip Konstitusi 

ad.1. Prinsip Negara Hukum 
Prinsip Negara hukum mengajarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang terdiri dari berbagai elemen komunitas berinteraksi dan bertransaksi untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Bahwa tatanan kehidupan dan komunikasi antar individu dalam suatu komunitas mengacu kepada aturan main yang disepakati dan dipakai sebagai acuan dan referensi para pihak dalam melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Tidak pihak yang merasa dizalimi atau menzalimi(Soetandyo,2002:448).

Atas dasar konsep tersebut, tidak ada kesemena-menaan yang dilakukan baik oleh penegak hukum maupun oleh pencari keadilan, sehingga melahirkan masyarakat sipil (civil society)di mana antar individu sebagai rakyat atau warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat di depan hukum (equality before the law). 

ad.2. Prinsip Konstitusi 
Prinsip konstitusi dalam suatu Negara hukum mengajarkan bahwa landasan dan referensi yang dijadikan pedoman dalam bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara adalah konstitusi,sehingga hak-hak warga negara dan hakmasasi manusia masing-masing warga Negara dijamin, terayomi dan terlindungi oleh konstitusi.

Prinsip tersebut di atas untuk perwujudannya diperlukan penegakan hukum, sehingga mutlak dilakukan langkah-langkah nyata enforscement, agar supremasi hukum bukan hanya symbol semata.

Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan danmenerapkan hukum serta melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution)(Jimly asshiddiqie,2009:22).

Bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya (Jimly,2008:22).

Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat dan badan-badan peradilan.

Sudikno Mertokusumo (2005:160), menyatakan bahwa untuk memfungsikan hukum secara nyata, maka harus dilakukan penegakan hukum, oleh karena dengan jalan itulah maka hukum menjadi kenyataan dan dalam kenyataan hukum harus mencerminkan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan(gerechtigkeit).

Demi supremasi hukum, maka penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia.Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia. 

Wahyuddin Husein Hufron (2008:211), menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkesejahtraan, berkepastian dan berkeadilan.

Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum sebagai berikut :

1. Total enforcement concept; 
2. Full enforcement concept; 
3. Actual enforcement concept. 


Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam 
rangka perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum actual muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran serta masyarakat (Wahyuddin H Hufron,2008:212).

Bagaimana citra penegakan hukum di negeri ini?, pertanyaan tersebut dijawab bahwa semua mahfum dan bukan rahasia umum lagi penegakan hukum di negeri ini adalah merupakan barang langka dan mahal harganya. Hal ini terindikasi berada pada titik nadir (Wahyuddin H Hufron, 2008:212).

Harkristuti. H (Wahyuddin,2008:212), menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum, pada khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan 
mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.

Hikmahanto J (Dies Natalis ke 56 UI,2006), mengemukakan terdapat sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar dilaksanakan, yaitu sebagai berikut : 

1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap; 
2. Mafia peradilan marak dituduhkan; 
3. Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi; 
4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; 
5. Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan. 

Supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini harus berjalan terus menerus sepanjang jalan Negara hukum Indonesia yang telah digariskan dalam UUD Negara RI 1945. Fiat justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum tetap harus ditegakkan.

III. PENUTUP 

Supremasi hukum dan penegakan hukum bagi suatu Negara yang memilih sebagai Negara hukum rechtsstaat/rule of law atau apapun istilahnya, merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar.Demikian pulalah halnya Indonesia.

Sejak semula bangsa ini mendirikan Negara the founding fathers telah memilih menjadi suatu Negara hukum, maka konsekuensi dari pada itu hukum harus menjadi fondasi dalam tatanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.

Namun tidak berhenti sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan dengan pembangunan elemen-elemen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bangunan hukum yang dapat menaungi kepentingan segenap elemen bangsa dan dilakukan penegakan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan memulihkan gangguan-gangguan yang timbul. 

Untuk itu semua, maka komitmen dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mendukung supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita tidak menjadi bangsa yang mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri untuk bernegara dalam sebuah Negara hukum. 

Selasa, 27 Mei 2014

HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


Oleh :  Imam Musta'in, SH.
A.    Pengantar
Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) masih jauh dari memuaskan. Bahkan sejarah mencatat terjadinya berbagai macam perilaku tidak adil dan diskriminatif di negeri ini atas dasar etnik, agama, golongan dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut ternyata telah menjurus kepada pelanggaran HAM dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Dalam rangka meningkatkan penghormatan dan perlindungan HAM sebenarnya telah diambil berbagai langkah dan kebijakan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa produk legislatif yang berkaitan dengan HAM tersebut adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat  serta Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Salah satu produk legislatif yang memiliki kedudukan dan peran penting dalam rangka penegakan hukum pelanggaran HAM yang berat di tanah air adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  Undang-Undang Pengadilan HAM yang menjadi landasan hukum bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat ini diundangkan dan mulai berlaku 23 Novermber 2000.

B.     Pelanggaran HAM Yang Berat
Dalam konteks hukum nasional, pelanggaran HAM diberikan pengertian sebagai ”setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, yang secara melawan hukum mengurangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang HAM, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan pernah memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.  Bertolak dari pengertian ini, apabila dilihat dari perspektif pelaku dan korbannya, maka pelanggaran HAM dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Pelanggaran HAM vertikal adalah pelanggaran HAM yang terjadi antara aparat negara dengan warga negara maupun pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara terhadap aparat negaranya. Sebaliknya, pelanggaran HAM horizontal merupakan pelanggaran HAM yang terjadi antar warga negara atau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara yang satu terhadap warga negara yang lainnya.
Pelanggaran HAM dapat dibedakan dari perspektif kualitas perbuatannya menjadi pelanggaran HAM yang berat dan pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM yang berat adalah pelanggaran HAM yang telah diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan pelanggaran HAM biasa merupakan pelanggaran HAM yang diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan lain di luar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  
Menurut Undang-Undang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang berat terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan genosida (crimes of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.      membunuh anggota kelompok;
2.      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3.      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya;
4.      memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5.      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1.      pembunuhan;
2.      pemusnahan;
3.      perbudakan;
4.      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.      perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.      penyiksaan;
7.      perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9.      penghilangan orang secara paksa; atau
10.  kejahatan apartheid.

C.    Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat
Pelanggaran HAM pada hakikatnya merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapat dikenakan suatu sanksi. Demikian pula, pelanggaran HAM sebagai suatu perbuatan melawan hukum dapat dikenakan sanksi, namun jenis sanksinya akan tergantung pada kualifikasi  pelanggaran HAM yang bersangkutan. Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran HAM yang berat sudah diatur dan ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Menurut Undang-Undang Pengadilan HAM tersebut, pelanggaran HAM yang berat diancam dengan sanksi pidana berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Sedangkan pelanggaran HAM biasa dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu sanksi pidana, sanksi perdata dan atau sanksi administratif.
Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran HAM di atas dilaksanakan melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan ”penegakan hukum”. Mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM juga tergantung dari kualifikasi pelanggaran HAM yang bersangkutan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM yang berat dilaksanakan melalui mekanisme ”Pengadilan HAM” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM biasa dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar. Dalam konteks yang terakhir ini, maka  dikenal tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara dan aparat penegak hukum yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak setiap pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM, melainkan hanya pelanggaran HAM yang berat saja yang dapat diproses melalui Pengadilan HAM. Meskipun demikian perlu dicatat pula bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada dasarnya dibedakan antara pelanggaran HAM yang berat sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
1.      Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomo 26 Tahun 2000 dapat dilakukan melalui mekanisme Pengadilan HAM adhoc. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM menyatakan bahwa ”Pengadilan HAM adhoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa ”Dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM”. Bertolak dari ketentuan ini, suatu ”peristiwa tertentu”  di masa lampau atau yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat diproses dan diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc, apabila mendapatkan rekomendasi dari DPR.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007 telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK berpendapat bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang. Oleh karena itu, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri ”peristiwa tertentu” di masa lampau sebagai pelanggaran HAM yang berat, tanpa memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 setidaknya tercatat dua ”peristiwa tertentu” di masa lampau yang diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc. Pertama, kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pasca jajak pendapat dalam wilayah hukum Liquicia, Dilli dan Soae pada bulan April dan September 1999. Kedua, kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dalam perkembangannya telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lampau dimungkinkan pula melalui mekanisme lembaga ekstra yudisial yang dikenal dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Payung hukum KKR terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004. Namun demikian, Undang-Undang KKR ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menilai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena tidak memberi kepastian hukum dan keadilan.
2.      Pelanggaran HAM Berat Setelah Berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilaksanakan melalui mekanisme Pengadilan HAM yang bersifat permanen. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM ini akan terdapat di daerah kabupaten/kota dan berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri  yang bersangkutan.  Namun demikian, mengingat eksistensi Pengadilan HAM yang masih relatif baru, maka Pengadilan HAM dibentuk untuk pertama kalinya di 4 kota besar yang memiliki wilayah hukum yang berbeda-beda, yaitu :
a.       Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
b.      Pengadilan HAM Surabaya yang daerah hukumnya meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat (NTT) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
c.       Pengadilan HAM Makasar yang mempunyai daerah hukum Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
d.      Pengadilan HAM Medan yang wilayah hukumnya terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
Pengadilan HAM juga memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas teritorial wilayah negara Indonesia. Sebaliknya, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh anak yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Mereka ini termasuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tercatat satu kasus pelanggaran HAM yang berat yang diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (permanen), yaitu ”Kasus Abepura Berdarah” yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 di Abepura, Papua. Kasus ini melibatkan terdakwa Brigadir Jenderal Polisi Johny Wainal Usman dan Komisaris Besar Polisi Daud Sihombing dalam peristiwa terbunuhnya delapan mahasiswa dan melukai ratusan lainnya di sejumlah asrama mahasiswa di Abepura, Papua.  Kasus ini telah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan HAM Makassar bulan September 2005.

D.    Hukum Acara Pengadilan HAM
Hukum acara dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat pada asasnya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dengan demikian, hukum acara yang digunakan dan berlaku di Pengadilan HAM mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, pembahasan hukum acara Pengadilan HAM di sini lebih menitikberatkan kepada berbagai ketentuan ”khusus” yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
1.      Penyelidikan
Penyelidikan di sini dimaksudkan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. Penyelidik dalam perkara pelanggaran HAM yang berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Meskipun demikian, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc dalam melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM memiliki beberapa wewenang sebagai berikut :
a.       Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM yang berat;
b.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat serta mencari keterangan dan barang bukti;
c.       Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d.      Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e.       Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian perkara dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f.       Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g.      Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1)      pemeriksaan surat;
2)      penggeledahan dan penyitaan;
3)      pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dam tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4)      mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan.
Ketika Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat, maka Komnas HAM harus memberitahukan dimulainya penyelidikan tersebut kepada penyidik. Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran HAM yang berat, maka Komnas HAM menyampaikan kesimpulan hasil penyelidikannya kepada penyidik dan menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik selambat-lambatnya 7  hari kerja setelah penyampaian kesimpulan hasil penyelidikan. Apabila penyidik menilai hasil penyelidikan Komnas HAM kurang lengkap, maka penyidik segera mengembalikannya kepada Komnas HAM disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi. Komnas HAM harus melengkapinya dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan.
2.      Penyidikan
Penyidikan perkara pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung, tetapi kewenangannya itu tidak termasuk menerima laporan atau pengaduan. Dalam rangka penyidikan pelanggaran HAM yang berat, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Penyidik dapat melakukan penangkapan dan penahanan dalam rangka penyidikan pelanggaran HAM yang berat. Penangkapan dapat dilakukan paling lama 1 hari, sedangkan penahanan dilakukan paling lama 90 hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90  hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling lama 60 hari. Demikian pula, penyidikan harus diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu penyidikan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90  hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling lama 60 hari.
Apabila dalam jangka waktu penyidikan di atas tidak diperoleh bukti yang cukup, maka Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pelanggaran HAM yang berat bersangkutan. Meskipun demikian, penyidikan ini masih bisa dibuka lagi apabila ditemukan bukti baru (novum). Sebaliknya, korban atau keluarganya (sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga) yang tidak menerima SP3 tersebut dapat mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya berdasarkan ketentuan KUHAP.
3.      Penuntutan
Penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung. Dalam hal ini Jaksa Agung juga dapat mengangkat penuntut umum ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.  Penuntutan ini wajib dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Penuntut Umum juga dapat melakukan penahanan dalam rangka penuntutan pelanggaran HAM yang berat. Penahanan dapat dilakukan paling lama 30 hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 20 hari.
4.      Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Pemeriksaan sidang pengadilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Ketua majelis hakim berasal dari hakim Pengadilan HAM yang bersangkutan. Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Untuk kepentingan pemeriksaan sidang, hakim Pengadilan HAM dapat melakukan penahanan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam hal perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka pemeriksaan banding dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Putusan banding dijatuhkan dalam waktu paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Untuk kepentingan pemeriksaan banding  dapat dilakukan penahanan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Apabila perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, maka pemeriksaan kasasi dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang Hakim Agung dan 3 orang hakim ad hoc. Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sekurang-kurangnya 3 orang yang diangkat oleh Presiden atas usulan DPR untuk satu kali masa jabatan selama 5 tahun. Putusan kasasi dijatuhkan dalam waktu paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Untuk kepentingan pemeriksaan kasasi dapat dilakukan penahanan paling lama 60  hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung.

E.     Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam kaitannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 telah mengatur pula mengenai kewajiban pemberian perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat. Perlindungan ini meliputi :
1.      Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental.
2.      Perahasiaan identitas korban atau saksi.
3.      Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan. Yang dimaksud inisiatif aparat penegak hukum atau aparat keamanan adalah tindakan perlindungan yang langsung diberikan berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan bahwa korban dan saksi perlu segera dilindungi. Inisiatif tersebut dapat berasal dari laporan masyarakat.
Selain itu, permohonan perlindungan dapat  juga diajukan secara langsung oleh korban atau saksi. Permohonan perlindungan disampaikan kepada Komnas HAM pada tahap penyelidikan, Kejaksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan serta Pengadilan pada tahap pemeriksaan sidang. Permohonan kemudian disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan. Meskipun demikian, permohonan perlindungan korban dan saksi tersebut dapat disampaikan pula secara langsung kepada aparat keamanan.
Perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dengan demikian korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perlindungan terhadap korban dan saksi dibebankan kepada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau aparat keamanan yang bersangkutan.

F.     Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 ditentukan pula mengenai kewajiban pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi merupakan pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.
Pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Selanjutnya Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan (Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung melaksanakan putusan tersebut dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi.
Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak berita acara pelaksanaan putusan diterima instansi pemerintah terkait serta pelaku atau pihak ketiga. Apabila tenggang waktu ini dilampaui, maka korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Jaksa Agung. Selanjutnya instansi pemerintah terkait, pelaku atau pihak ketiga akan diperintahkan melaksanakan putusan paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

G.    Penutup
Pelanggaran HAM pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM biasa. Pembedaan kedua jenis pelanggaran HAM ini memiliki implikasi terhadap mekanisme penegakan hukumnya. Dalam kerangka demikian, hanya pelanggaran HAM yang berat yang dapat diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (ad hoc atau permanen) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Realitas menunjukkan bahwa selama ini masih terdapat pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat Indonesia mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman yang benar mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya. Dengan demikian, akan diperoleh interpretasi yang tepat dan proporsional mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya.