Oleh : Imam Musta'in, SH.
Sejarah bangsa Indonesia
menunjukkan bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) masih
jauh dari memuaskan. Bahkan sejarah mencatat terjadinya berbagai macam perilaku
tidak adil dan diskriminatif di negeri ini atas dasar etnik, agama, golongan
dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut
ternyata telah menjurus kepada pelanggaran HAM dan tidak sedikit yang masuk
dalam kategori pelanggaran HAM yang berat (gross
violation of human rights).
Dalam rangka meningkatkan penghormatan
dan perlindungan HAM sebenarnya telah diambil berbagai langkah dan kebijakan melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa produk legislatif yang
berkaitan dengan HAM tersebut adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Pelanggaran HAM yang Berat serta
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Salah satu produk legislatif yang
memiliki kedudukan dan peran penting dalam rangka penegakan hukum pelanggaran
HAM yang berat di tanah air adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Undang-Undang Pengadilan HAM yang menjadi landasan
hukum bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat ini diundangkan dan mulai
berlaku 23 Novermber 2000.
B. Pelanggaran HAM Yang Berat
Dalam konteks hukum nasional,
pelanggaran HAM diberikan pengertian sebagai ”setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian, yang secara melawan hukum mengurangi, membatasi dan atau
mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang HAM,
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan pernah memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku”. Bertolak dari pengertian
ini, apabila dilihat dari perspektif pelaku dan korbannya, maka pelanggaran HAM
dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Pelanggaran HAM vertikal adalah
pelanggaran HAM yang terjadi antara aparat negara dengan warga negara maupun pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh warga negara terhadap aparat negaranya. Sebaliknya, pelanggaran
HAM horizontal merupakan pelanggaran HAM yang terjadi antar warga negara atau
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara yang satu terhadap warga
negara yang lainnya.
Pelanggaran HAM dapat
dibedakan dari perspektif kualitas perbuatannya menjadi pelanggaran HAM yang berat
dan pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran
HAM yang berat adalah pelanggaran HAM yang telah diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan pelanggaran HAM biasa merupakan pelanggaran HAM
yang diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan lain di luar Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut Undang-Undang
Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang berat terdiri dari dua jenis, yaitu
kejahatan genosida (crimes of genocide) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
C. Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat
Pelanggaran HAM pada
hakikatnya merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapat
dikenakan suatu sanksi. Demikian pula, pelanggaran HAM sebagai suatu perbuatan
melawan hukum dapat dikenakan sanksi, namun jenis sanksinya akan tergantung
pada kualifikasi pelanggaran HAM yang
bersangkutan. Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran HAM yang berat
sudah diatur dan ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut Undang-Undang Pengadilan HAM tersebut, pelanggaran HAM yang berat diancam
dengan sanksi pidana berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana
penjara selama waktu tertentu. Sedangkan pelanggaran HAM biasa dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu sanksi pidana, sanksi
perdata dan atau sanksi administratif.
Penjatuhan sanksi terhadap
pelanggaran HAM di atas dilaksanakan melalui suatu mekanisme yang dikenal
dengan ”penegakan hukum”. Mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM
juga tergantung dari kualifikasi pelanggaran HAM yang bersangkutan. Penegakan
hukum terhadap pelanggaran HAM yang berat dilaksanakan melalui mekanisme
”Pengadilan HAM” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Sedangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM biasa dilakukan melalui
mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar.
Dalam konteks yang terakhir ini, maka dikenal tiga sistem penegakan hukum, yaitu
sistem penegakan hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Ketiga
sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh
alat perlengkapan negara dan aparat penegak hukum yang mempunyai aturannya
sendiri-sendiri.
Bertolak dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa tidak setiap pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui
mekanisme Pengadilan HAM, melainkan hanya pelanggaran HAM yang berat saja yang
dapat diproses melalui Pengadilan HAM. Meskipun demikian perlu dicatat pula bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang
berat pada dasarnya dibedakan antara pelanggaran HAM yang berat sebelum dan
sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000.
1. Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya Undang-Undang
Pengadilan HAM.
Penyelesaian kasus pelanggaran
HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomo 26 Tahun 2000
dapat dilakukan melalui mekanisme Pengadilan HAM adhoc. Dalam kaitannya dengan
hal ini, maka Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM menyatakan bahwa ”Pengadilan
HAM adhoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden”. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa ”Dalam
hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus
dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang Pengadilan HAM”. Bertolak dari ketentuan ini, suatu ”peristiwa
tertentu” di masa lampau atau yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat diproses dan
diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc, apabila mendapatkan
rekomendasi dari DPR.
Dalam perkembangannya,
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007 telah
menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan Konstitusi
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK berpendapat bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM
ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi
yang berwenang. Oleh karena itu, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri ”peristiwa
tertentu” di masa lampau sebagai pelanggaran HAM yang berat, tanpa
memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi
yang berwenang, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan
Kejaksaan Agung.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 setidaknya tercatat dua ”peristiwa tertentu” di masa lampau yang
diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc. Pertama, kasus
pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pasca jajak pendapat dalam wilayah
hukum Liquicia, Dilli dan Soae pada bulan April dan September 1999. Kedua, kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanjung
Priok pada bulan September 1984. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus
ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang dalam perkembangannya telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor
96 Tahun 2001.
Menurut Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lampau
dimungkinkan pula melalui mekanisme lembaga ekstra yudisial yang dikenal dengan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Payung hukum KKR terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004. Namun
demikian, Undang-Undang KKR ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006. MK
menilai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
karena tidak memberi kepastian hukum dan keadilan.
2. Pelanggaran HAM Berat Setelah
Berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilaksanakan
melalui mekanisme Pengadilan HAM yang bersifat permanen. Pengadilan HAM ini
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan HAM ini akan terdapat di daerah kabupaten/kota dan berkedudukan di
setiap wilayah Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Namun demikian, mengingat
eksistensi Pengadilan HAM yang masih relatif baru, maka Pengadilan HAM dibentuk
untuk pertama kalinya di 4 kota besar yang memiliki wilayah hukum yang
berbeda-beda, yaitu :
a. Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang wilayah
hukumnya meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan,
Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
b. Pengadilan HAM Surabaya yang daerah
hukumnya meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat (NTT) dan Nusa
Tenggara Timur (NTT).
c. Pengadilan HAM Makasar yang mempunyai
daerah hukum Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
d. Pengadilan HAM Medan yang wilayah hukumnya
terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau,
Jambi dan Sumatera Barat.
Pengadilan HAM juga memiliki
wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas teritorial wilayah negara
Indonesia. Sebaliknya, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh anak yang berumur di
bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Mereka ini termasuk dalam
kewenangan Pengadilan Negeri.
Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tercatat satu kasus pelanggaran HAM yang berat yang
diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (permanen), yaitu ”Kasus Abepura
Berdarah” yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 di Abepura, Papua. Kasus ini melibatkan terdakwa
Brigadir Jenderal Polisi Johny Wainal Usman dan Komisaris Besar Polisi Daud
Sihombing dalam peristiwa terbunuhnya delapan mahasiswa dan melukai ratusan
lainnya di sejumlah asrama mahasiswa di Abepura, Papua. Kasus ini
telah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan HAM Makassar bulan
September 2005.
D. Hukum Acara Pengadilan HAM
Hukum acara dalam penyelesaian
perkara pelanggaran HAM yang berat pada asasnya dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum acara pidana, kecuali tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000.
Dengan demikian, hukum acara yang digunakan dan berlaku di Pengadilan HAM
mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, pembahasan hukum acara Pengadilan HAM di
sini lebih menitikberatkan kepada berbagai ketentuan ”khusus” yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
1. Penyelidikan
Penyelidikan di sini
dimaksudkan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat
guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. Penyelidik dalam perkara pelanggaran
HAM yang berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Meskipun
demikian, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc dalam melaksanakan penyelidikan
pelanggaran HAM yang berat, terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan penyelidikan
terhadap pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM memiliki beberapa wewenang
sebagai berikut :
a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM yang berat;
b. Menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat
serta mencari keterangan dan barang bukti;
c. Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak
yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya;
e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di
tempat kejadian perkara dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Memanggil pihak terkait untuk memberikan
keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya;
g. Atas perintah penyidik dapat melakukan
tindakan berupa :
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan dam tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki
pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan
penyelidikan.
Ketika Komnas HAM melakukan
penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang
berat, maka Komnas HAM harus memberitahukan dimulainya penyelidikan tersebut kepada
penyidik. Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukupadanya pelanggaran HAM yang
berat, maka Komnas HAM menyampaikan kesimpulan hasil penyelidikannya kepada
penyidik dan menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah
penyampaian kesimpulan hasil penyelidikan. Apabila penyidik menilai
hasil penyelidikan Komnas HAM kurang lengkap, maka penyidik segera
mengembalikannya kepada Komnas HAM disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi.
Komnas HAM harus melengkapinya dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya
hasil penyelidikan.
2. Penyidikan
Penyidikan perkara pelanggaran
HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung, tetapi kewenangannya itu tidak
termasuk menerima laporan atau pengaduan. Dalam rangka penyidikan pelanggaran
HAM yang berat, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc dari unsur
pemerintah dan atau masyarakat.
Penyidik dapat melakukan
penangkapan dan penahanan dalam rangka penyidikan pelanggaran HAM yang berat.
Penangkapan dapat dilakukan paling lama 1 hari, sedangkan penahanan dilakukan
paling lama 90 hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk
waktu paling lama 90 hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling
lama 60 hari. Demikian pula, penyidikan harus diselesaikan paling lambat 90
hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap
oleh penyidik. Jangka waktu penyidikan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu
paling lama 90 hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling
lama 60 hari.
Apabila dalam jangka waktu penyidikan
di atas tidak diperoleh bukti yang cukup, maka Jaksa Agung wajib mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pelanggaran HAM yang berat
bersangkutan. Meskipun demikian, penyidikan ini masih bisa dibuka lagi apabila
ditemukan bukti baru (novum).
Sebaliknya, korban atau keluarganya (sedarah atau semenda dalam garis lurus ke
atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga) yang tidak menerima SP3
tersebut dapat mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai
dengan daerah hukumnya berdasarkan ketentuan KUHAP.
3. Penuntutan
Penuntutan perkara pelanggaran
HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung. Dalam hal ini Jaksa Agung juga
dapat mengangkat penuntut umum ad hoc dari unsur pemerintah dan atau
masyarakat. Penuntutan ini wajib
dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan
diterima.
Penuntut Umum juga dapat
melakukan penahanan dalam rangka penuntutan pelanggaran HAM yang berat.
Penahanan dapat dilakukan paling lama 30 hari. Jangka waktu penahanan tersebut
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 20
hari.
4. Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Pemeriksaan sidang pengadilan
terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh majelis hakim yang
berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM yang
bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Ketua majelis hakim
berasal dari hakim Pengadilan HAM yang bersangkutan. Perkara pelanggaran HAM
berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 terhitung
sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Untuk kepentingan pemeriksaan
sidang, hakim Pengadilan HAM dapat melakukan penahanan paling lama 90 hari dan
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam hal perkara pelanggaran
HAM yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka pemeriksaan
banding dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2
orang hakim pada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Putusan banding dijatuhkan
dalam waktu paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
Tinggi. Untuk kepentingan pemeriksaan banding
dapat dilakukan penahanan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang
untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan
daerah hukumnya.
Apabila perkara pelanggaran
HAM yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, maka pemeriksaan kasasi
dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang Hakim
Agung dan 3 orang hakim ad hoc. Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung
sekurang-kurangnya 3 orang yang diangkat oleh Presiden atas usulan DPR untuk
satu kali masa jabatan selama 5 tahun. Putusan kasasi dijatuhkan dalam waktu
paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Untuk kepentingan
pemeriksaan kasasi dapat dilakukan penahanan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu
paling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
E. Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam kaitannya dengan
penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 telah mengatur pula mengenai
kewajiban pemberian perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang
berat. Perlindungan ini meliputi :
1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban
atau saksi dari ancaman fisik dan mental.
2. Perahasiaan identitas korban atau saksi.
3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan
sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Perlindungan korban dan saksi
dalam pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan berdasarkan inisiatif aparat
penegak hukum dan aparat keamanan. Yang dimaksud inisiatif aparat penegak hukum
atau aparat keamanan adalah tindakan perlindungan yang langsung diberikan
berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan bahwa korban
dan saksi perlu segera dilindungi. Inisiatif tersebut dapat berasal dari
laporan masyarakat.
Selain itu, permohonan
perlindungan dapat juga diajukan secara
langsung oleh korban atau saksi. Permohonan perlindungan disampaikan kepada
Komnas HAM pada tahap penyelidikan, Kejaksaan pada tahap penyidikan dan
penuntutan serta Pengadilan pada tahap pemeriksaan sidang. Permohonan kemudian
disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan. Meskipun demikian, permohonan
perlindungan korban dan saksi tersebut dapat disampaikan pula secara langsung
kepada aparat keamanan.
Perlindungan korban dan saksi
dalam pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan
aparat keamanan secara cuma-cuma. Dengan demikian korban dan saksi tidak
dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya. Segala
biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perlindungan terhadap korban dan saksi
dibebankan kepada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau
aparat keamanan yang bersangkutan.
F. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 ditentukan pula mengenai
kewajiban pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran HAM yang berat atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian
biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi merupakan pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.
Pemberian kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. Kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi ini dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Selanjutnya
Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan (Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa
Agung. Jaksa Agung melaksanakan putusan tersebut dengan membuat berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait untuk melaksanakan
pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi dan kepada pelaku atau pihak ketiga
untuk melaksanakan pemberian restitusi.
Pelaksanaan pemberian
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dilakukan paling lambat 30 hari
kerja terhitung sejak berita acara pelaksanaan putusan diterima instansi
pemerintah terkait serta pelaku atau pihak ketiga. Apabila tenggang waktu ini
dilampaui, maka korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat
melaporkannya kepada Jaksa Agung. Selanjutnya instansi pemerintah terkait,
pelaku atau pihak ketiga akan diperintahkan melaksanakan putusan paling lambat
7 hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
G. Penutup
Pelanggaran HAM pada
hakikatnya dapat dibedakan menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM
biasa. Pembedaan kedua jenis pelanggaran HAM ini memiliki implikasi terhadap
mekanisme penegakan hukumnya. Dalam kerangka demikian, hanya pelanggaran HAM yang
berat yang dapat diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (ad hoc atau
permanen) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Realitas menunjukkan bahwa
selama ini masih terdapat pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat
Indonesia mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya.
Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman yang benar mengenai masalah pelanggaran
HAM dan mekanisme penegakan hukumnya. Dengan demikian, akan diperoleh
interpretasi yang tepat dan proporsional mengenai masalah pelanggaran HAM dan
mekanisme penegakan hukumnya.