Selasa, 27 Mei 2014

HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


Oleh :  Imam Musta'in, SH.
A.    Pengantar
Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) masih jauh dari memuaskan. Bahkan sejarah mencatat terjadinya berbagai macam perilaku tidak adil dan diskriminatif di negeri ini atas dasar etnik, agama, golongan dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut ternyata telah menjurus kepada pelanggaran HAM dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Dalam rangka meningkatkan penghormatan dan perlindungan HAM sebenarnya telah diambil berbagai langkah dan kebijakan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa produk legislatif yang berkaitan dengan HAM tersebut adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat  serta Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.
Salah satu produk legislatif yang memiliki kedudukan dan peran penting dalam rangka penegakan hukum pelanggaran HAM yang berat di tanah air adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  Undang-Undang Pengadilan HAM yang menjadi landasan hukum bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat ini diundangkan dan mulai berlaku 23 Novermber 2000.

B.     Pelanggaran HAM Yang Berat
Dalam konteks hukum nasional, pelanggaran HAM diberikan pengertian sebagai ”setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, yang secara melawan hukum mengurangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang HAM, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan pernah memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.  Bertolak dari pengertian ini, apabila dilihat dari perspektif pelaku dan korbannya, maka pelanggaran HAM dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Pelanggaran HAM vertikal adalah pelanggaran HAM yang terjadi antara aparat negara dengan warga negara maupun pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara terhadap aparat negaranya. Sebaliknya, pelanggaran HAM horizontal merupakan pelanggaran HAM yang terjadi antar warga negara atau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara yang satu terhadap warga negara yang lainnya.
Pelanggaran HAM dapat dibedakan dari perspektif kualitas perbuatannya menjadi pelanggaran HAM yang berat dan pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM yang berat adalah pelanggaran HAM yang telah diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan pelanggaran HAM biasa merupakan pelanggaran HAM yang diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan lain di luar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  
Menurut Undang-Undang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang berat terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan genosida (crimes of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.      membunuh anggota kelompok;
2.      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3.      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya;
4.      memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5.      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1.      pembunuhan;
2.      pemusnahan;
3.      perbudakan;
4.      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.      perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.      penyiksaan;
7.      perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9.      penghilangan orang secara paksa; atau
10.  kejahatan apartheid.

C.    Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat
Pelanggaran HAM pada hakikatnya merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapat dikenakan suatu sanksi. Demikian pula, pelanggaran HAM sebagai suatu perbuatan melawan hukum dapat dikenakan sanksi, namun jenis sanksinya akan tergantung pada kualifikasi  pelanggaran HAM yang bersangkutan. Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran HAM yang berat sudah diatur dan ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Menurut Undang-Undang Pengadilan HAM tersebut, pelanggaran HAM yang berat diancam dengan sanksi pidana berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Sedangkan pelanggaran HAM biasa dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu sanksi pidana, sanksi perdata dan atau sanksi administratif.
Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran HAM di atas dilaksanakan melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan ”penegakan hukum”. Mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM juga tergantung dari kualifikasi pelanggaran HAM yang bersangkutan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM yang berat dilaksanakan melalui mekanisme ”Pengadilan HAM” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sedangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM biasa dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar. Dalam konteks yang terakhir ini, maka  dikenal tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara dan aparat penegak hukum yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak setiap pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM, melainkan hanya pelanggaran HAM yang berat saja yang dapat diproses melalui Pengadilan HAM. Meskipun demikian perlu dicatat pula bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada dasarnya dibedakan antara pelanggaran HAM yang berat sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
1.      Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomo 26 Tahun 2000 dapat dilakukan melalui mekanisme Pengadilan HAM adhoc. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM menyatakan bahwa ”Pengadilan HAM adhoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa ”Dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM”. Bertolak dari ketentuan ini, suatu ”peristiwa tertentu”  di masa lampau atau yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat diproses dan diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc, apabila mendapatkan rekomendasi dari DPR.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007 telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK berpendapat bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang. Oleh karena itu, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri ”peristiwa tertentu” di masa lampau sebagai pelanggaran HAM yang berat, tanpa memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 setidaknya tercatat dua ”peristiwa tertentu” di masa lampau yang diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc. Pertama, kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pasca jajak pendapat dalam wilayah hukum Liquicia, Dilli dan Soae pada bulan April dan September 1999. Kedua, kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dalam perkembangannya telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lampau dimungkinkan pula melalui mekanisme lembaga ekstra yudisial yang dikenal dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Payung hukum KKR terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004. Namun demikian, Undang-Undang KKR ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menilai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena tidak memberi kepastian hukum dan keadilan.
2.      Pelanggaran HAM Berat Setelah Berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilaksanakan melalui mekanisme Pengadilan HAM yang bersifat permanen. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM ini akan terdapat di daerah kabupaten/kota dan berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri  yang bersangkutan.  Namun demikian, mengingat eksistensi Pengadilan HAM yang masih relatif baru, maka Pengadilan HAM dibentuk untuk pertama kalinya di 4 kota besar yang memiliki wilayah hukum yang berbeda-beda, yaitu :
a.       Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
b.      Pengadilan HAM Surabaya yang daerah hukumnya meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat (NTT) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
c.       Pengadilan HAM Makasar yang mempunyai daerah hukum Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
d.      Pengadilan HAM Medan yang wilayah hukumnya terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
Pengadilan HAM juga memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas teritorial wilayah negara Indonesia. Sebaliknya, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh anak yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Mereka ini termasuk dalam kewenangan Pengadilan Negeri.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tercatat satu kasus pelanggaran HAM yang berat yang diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (permanen), yaitu ”Kasus Abepura Berdarah” yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 di Abepura, Papua. Kasus ini melibatkan terdakwa Brigadir Jenderal Polisi Johny Wainal Usman dan Komisaris Besar Polisi Daud Sihombing dalam peristiwa terbunuhnya delapan mahasiswa dan melukai ratusan lainnya di sejumlah asrama mahasiswa di Abepura, Papua.  Kasus ini telah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan HAM Makassar bulan September 2005.

D.    Hukum Acara Pengadilan HAM
Hukum acara dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat pada asasnya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dengan demikian, hukum acara yang digunakan dan berlaku di Pengadilan HAM mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, pembahasan hukum acara Pengadilan HAM di sini lebih menitikberatkan kepada berbagai ketentuan ”khusus” yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
1.      Penyelidikan
Penyelidikan di sini dimaksudkan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. Penyelidik dalam perkara pelanggaran HAM yang berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Meskipun demikian, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc dalam melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM memiliki beberapa wewenang sebagai berikut :
a.       Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM yang berat;
b.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat serta mencari keterangan dan barang bukti;
c.       Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d.      Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e.       Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian perkara dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f.       Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g.      Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1)      pemeriksaan surat;
2)      penggeledahan dan penyitaan;
3)      pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dam tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4)      mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan.
Ketika Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat, maka Komnas HAM harus memberitahukan dimulainya penyelidikan tersebut kepada penyidik. Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran HAM yang berat, maka Komnas HAM menyampaikan kesimpulan hasil penyelidikannya kepada penyidik dan menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik selambat-lambatnya 7  hari kerja setelah penyampaian kesimpulan hasil penyelidikan. Apabila penyidik menilai hasil penyelidikan Komnas HAM kurang lengkap, maka penyidik segera mengembalikannya kepada Komnas HAM disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi. Komnas HAM harus melengkapinya dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan.
2.      Penyidikan
Penyidikan perkara pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung, tetapi kewenangannya itu tidak termasuk menerima laporan atau pengaduan. Dalam rangka penyidikan pelanggaran HAM yang berat, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Penyidik dapat melakukan penangkapan dan penahanan dalam rangka penyidikan pelanggaran HAM yang berat. Penangkapan dapat dilakukan paling lama 1 hari, sedangkan penahanan dilakukan paling lama 90 hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90  hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling lama 60 hari. Demikian pula, penyidikan harus diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu penyidikan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90  hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi paling lama 60 hari.
Apabila dalam jangka waktu penyidikan di atas tidak diperoleh bukti yang cukup, maka Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pelanggaran HAM yang berat bersangkutan. Meskipun demikian, penyidikan ini masih bisa dibuka lagi apabila ditemukan bukti baru (novum). Sebaliknya, korban atau keluarganya (sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga) yang tidak menerima SP3 tersebut dapat mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya berdasarkan ketentuan KUHAP.
3.      Penuntutan
Penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan Jaksa Agung. Dalam hal ini Jaksa Agung juga dapat mengangkat penuntut umum ad hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.  Penuntutan ini wajib dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Penuntut Umum juga dapat melakukan penahanan dalam rangka penuntutan pelanggaran HAM yang berat. Penahanan dapat dilakukan paling lama 30 hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 20 hari.
4.      Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Pemeriksaan sidang pengadilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Ketua majelis hakim berasal dari hakim Pengadilan HAM yang bersangkutan. Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Untuk kepentingan pemeriksaan sidang, hakim Pengadilan HAM dapat melakukan penahanan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam hal perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka pemeriksaan banding dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. Putusan banding dijatuhkan dalam waktu paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Untuk kepentingan pemeriksaan banding  dapat dilakukan penahanan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Apabila perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, maka pemeriksaan kasasi dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang Hakim Agung dan 3 orang hakim ad hoc. Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sekurang-kurangnya 3 orang yang diangkat oleh Presiden atas usulan DPR untuk satu kali masa jabatan selama 5 tahun. Putusan kasasi dijatuhkan dalam waktu paling lama 90 terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Untuk kepentingan pemeriksaan kasasi dapat dilakukan penahanan paling lama 60  hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung.

E.     Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam kaitannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 telah mengatur pula mengenai kewajiban pemberian perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat. Perlindungan ini meliputi :
1.      Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental.
2.      Perahasiaan identitas korban atau saksi.
3.      Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan. Yang dimaksud inisiatif aparat penegak hukum atau aparat keamanan adalah tindakan perlindungan yang langsung diberikan berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan bahwa korban dan saksi perlu segera dilindungi. Inisiatif tersebut dapat berasal dari laporan masyarakat.
Selain itu, permohonan perlindungan dapat  juga diajukan secara langsung oleh korban atau saksi. Permohonan perlindungan disampaikan kepada Komnas HAM pada tahap penyelidikan, Kejaksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan serta Pengadilan pada tahap pemeriksaan sidang. Permohonan kemudian disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan. Meskipun demikian, permohonan perlindungan korban dan saksi tersebut dapat disampaikan pula secara langsung kepada aparat keamanan.
Perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dengan demikian korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perlindungan terhadap korban dan saksi dibebankan kepada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau aparat keamanan yang bersangkutan.

F.     Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 ditentukan pula mengenai kewajiban pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi merupakan pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.
Pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Selanjutnya Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan (Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung melaksanakan putusan tersebut dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi.
Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak berita acara pelaksanaan putusan diterima instansi pemerintah terkait serta pelaku atau pihak ketiga. Apabila tenggang waktu ini dilampaui, maka korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkannya kepada Jaksa Agung. Selanjutnya instansi pemerintah terkait, pelaku atau pihak ketiga akan diperintahkan melaksanakan putusan paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

G.    Penutup
Pelanggaran HAM pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM biasa. Pembedaan kedua jenis pelanggaran HAM ini memiliki implikasi terhadap mekanisme penegakan hukumnya. Dalam kerangka demikian, hanya pelanggaran HAM yang berat yang dapat diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM (ad hoc atau permanen) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Realitas menunjukkan bahwa selama ini masih terdapat pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat Indonesia mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman yang benar mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya. Dengan demikian, akan diperoleh interpretasi yang tepat dan proporsional mengenai masalah pelanggaran HAM dan mekanisme penegakan hukumnya.